Senin, 28 Maret 2016

Esai Keagamaan

Organisasi Kemasyarakatan dan Teknologi modern : Ajegkan Tatanan Berbusana Hindu di Kalangan Remaja
Bali sangat kental dengan adat istiadat yang menjadikan sebuah identitas bangsa Indonesia di mata dunia. Kawasan yang tekenal dengan julukan “ Pulau Seribu Pura” tentu memiliki berbagai tradisi unik sehingga tidak dapat dipungkiri jika wisatawan yang datang ke Bali kian melonjak seiring waktu bergulir. Bali disebut sebagai Pulau Seribu Pura karena di Bali hampir di setiap rumah penduduk terdapat pura yang disebut pura keluarga serta pura-pura yang bersifat umum yang berjumlah ribuan. Adanya ribuan pura di Bali sebagai sarana untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya bagi umat yang beragama Hindu. Pura di samping sebagai sarana memuja Tuhan juga sebagai sistem penataan kehidupan sosial dengan segala dimensinya. Memuja Tuhan haruslah dapat dimaknai untuk menata kehidupan bersama untuk mencapai sistem sosial yang dinamis dan harmonis mewujudkan tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha.  
            Selain itu, Bali juga disebut sebagai Pulau Dewata karena sebagian besar penduduk Bali memeluk agama Hindu. Agama Hindu mengenal banyak Dewa sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) di dalam melaksanakan kekuasaan yang tak terbatas atas alam semesta. Dalam proses pemujaan Tuhan dan segala manifestasi-nya, masyarakat hindu Bali melaksanakan upacara yang dinamakan Panca Yadnya. Panca Yadnya adalah lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yadnya tersebut terdiri dari Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya (Wayanbio, 2011).
            Dalam proses pelaksanakan yadnya, masyarakat wajib mengenakan pakaian adat ke pura yang sesuai dengan konsep busana adat Bali yang disebut dengan konsep tapak dara (swastika). Secara umum busana adat Bali dibagi tiga yakni : busana adat nista yang digunakan sehari, ngayah, dan tidak digunakan untuk persembahyangan, busana adat madya yang digunakan untuk persembahyangan dan busana adat agung yang untuk upacara pawiwahan (Wasudewa, 2011).
            Namun pada era milennium 3 atau abad 21 ini, bayangan globalisasi seakan menghitamkan seantero jagat Bali. penyimpangan terhadap cara berpakaian masyarakat Hindu khususnya generasi muda mulai melonjak di tengah kalangan masyaraka. Harumnya bunga dan asap dupa yang mengepul  yang mencirikan proses persembahyangan sedang berlangsung serta lantunan doa diiringi suara genta dan gamelan yang menambah khusyuknya hati tatkala melaksanakan persembahyangan telah tercemar oleh penampilan para generasi muda saat ke pura.
Fakta yang terjadi adalah ketidaksesuaian antara tempat dan fungsi dari pakaian yang dikenakan saat ke pura. Tatkala umat Hindu melaksanakan kegiatan upacara persembahyangan, khususnya di pura-pura bisa dengan harmonis generasi muda masa kini mensinergikan tampilannya yang trendis, modis seperti kalangan selebritis, dalam aktivitas religis yang sebenarnya lebih mengedepankan tuntutan etis (normatif) yang dijiwai ajaran Hindu. Di balik fenomena penampilan selebritis umat Hindu tersebut, akan membawa implikasi berupa terjadinya pergeseran orientasi nilai yang semestinya menekankan pada substansi dan esensi, tetapi yang terjadi dan berkembang justru lebih mengutamakan tampilan materi (Artini, 2013). Hal tersebut menyebabkan terjadinya alih fungsi Pura yang semulanya sebagai tempat suci, kini sebagai panggung cat walk. Kaum generasi muda seakan “buta dan tuli” dalam menanggapi penyimpangan yang terjadi.
Ong Sembahning Anatha Tinghalana, De Tri Loka Sarana
Wahya Dhyatmika Sembahinguluni Jong Ta, Tan Hana Waneh.
Sang Lwir Agni Sakeng Tahen, Kadi Minyak Sakeng Dadi Kita.
Sang Saksat Metu, Yan Hana Wwang Amuter Tutur Pinihayu
( Arjuna Wiwaha X.1/98 Mrdhu Komala)
Jika kita perhatikan baris kedua dari kekawin diatas “Wahya Dhyatmika Sembahinguluni” yang mengisyaratkan bahwa sebelum melaksanakan persembahyangan kita telah memenuhi dua syarat. Yang pertama adalah Wahya yang artinya gerak atau sikap nyata meliputi cara berjalan, sikap duduk, sikap tangan, napas teratur, dan alat-alat pemujaan yang bersih dan baik. Syarat kedua adalah Dhyatmika yang bermakana kondisi batin yang baik dan siap untuk bersembahyang, yaitu: tenang, damai, pengabdian yang tulus, dan konsentrasi penuh dalam memuja Sanghyang Widhi. Oleh karena itu PHDI dalam keputusan seminar ke-IV tentang kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu tanggal 17 s/d 20 April 1978 mengatur tata cara masuk pura, salah satu isinya adalah dilarang memasuki pura bagi orang-orang yang berpakaian tidak sopan atau menonjolkan bentuk tubuh (Hindu, Bali, 2012).
Namun jika kita lihat fenomena yang terjadi pada generasi muda Hindu masa kini, aturan tersebut seperti tidak digubris. Contoh kecil saja, saat upacara piodalan di pura, sebagian besar remaja laki-laki mengenakan kamben yang terlalu pendek sehingga jarak antara mata kaki dan ujung kamben yang dikenakan melebihi satu jengkal. Selain itu sebagian besar para pemuda yang ke Pura mengenakan saput dengan ujung lipatannya tumpul. Udeng yang dikenakan pun membentuk ujung simpul ke kiri. Tidak hanya itu, gaya rambut punk dan hiasan tindik di telinga kaum pria kian menjadi ciri khas remaja masa kini.
Padahal aturan dalam berbusana ke pura pada putra yang sesuai dengan tata busana adalah saat mengenakan kamben dengan lipatan melingkar ke kiri sebagai simbol pemegang dharma. Kancut yang dikenakan harus dilipat dan lipatannya  rucing ke bawah sebagai simbol penghormatan kepada Ibu Pertiwi serta dilengkapi dengan saput umpal sebagai simbol pengendalian terhadap hal-hal buruk. Baju yang dikenakan harus sopan. Dalam memakai udeng, simpul ditempatkan di atas sela-sela mata,dan ujung rungcingnya mennghadap ke atas sebagai tanda penghormatan kepada Ida Sang Hyang widhi atau ke kanan sebagai simbol penghormatan kepada ajaran dharma (Wasudewa, 2014).
Bagai pinang dibelah dua, hal  serupa juga kita rasakan bersama terhadap cara berpakaian remaja putri ketika memasuki tempat suci. Sebagian besar kaum putri mengenakan kebaya berleher lebar dan berlengan pendek serta berwarna transparan yang semata-mata ingin memperlihatkan aurat tubuh. Selain itu kebanyakan kaum putri mengenakan kamben yang trend  sehingga gulungan kamen yang dikenakan memperlihatkan betis bahkan lutut serta dalam kondisi rambut digerai yang dihiasi pernak pernik modern seperti bando. Hal tersebut tentu sangat menyimpang dari aturan buasana, sehingga tidak jarang pemandangan yang kurang enak dilihat tersebut menggangu iman kaum pria ketika beryadnya. Jika kita lihat dari segi aturan busana adat ke pura untuk kaum putri, jarak ujung kamen yang dikenakan maksimal satu telapak kaki diatas mata kaki. Baju yang dikenakan harus sopan dan lengan baju setidaknya satu telapak tangan dari mata tangan. Rambut kaum putri harus diikat berbentuk pusung gonjer karena sebagai simbol mahkota dan sebagai stana Tri Murti (Diputra, Aristana, 2014).
Berkaca pada masalah tersebut, ternyata penyebabnya hanyalah satu hal yang mendasar yakni ketidak tahuan generasi muda terhadap cara berbusana ke pura yang benar. Dari ketidak tahuan tersebut, timbul rasa malas, enggan serta acuh tak acuh untuk mengetahui cara berpakaian adat ke pura yang benar. Namun dilihat dari sudut pandang yang berbeda, hal lain yang menjadi penyebab penyimpangan tersebut adalah tidak adanya sanksi yang tegas mengenai busana adat yang benar dan sesuai dengan tata busana adat ke pura. Petuah-petuah yang diberikan para orang tua  di rumah maupun pada acara tertentu seperti Dharma Wacana seperti angin lalu yang sama sekali tidak dihiraukan oleh generasi muda zaman sekarang. Dengan keadaan yang kian terpuruk ini, diperlukan suatu inovasi baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi generasi muda masa kini. Sehingga kedepannya generasi muda Hindu mampu menjaga eskistensi agama Hindu di era yang kian modern ini.
Organisasi Masyarakat : Penuntun Dharma ditengah Globalisasi
Pada setiap langkah yang dilalui, penyimpangan yang terjadi ditengah arus globalisasi ini tentu tidak terlepas dari pengaruh lingkungan sekitar. Selain lingkungan pendidikan formal, generasi muda wajib mendapatkan pendidikan informal disekitar lingkungan tempatnya tinggal yang dapat dijadikan sebagai ajang pembentukan karakter yang berbudi luhur secara lebih mendalam. Dalam hal ini, peran organisasi masyarakat seperti Pasraman1 dan Pecalang2 sangat diperlukan untuk mengontrol perilaku generasi muda zaman sekarang khususnya dalam bidang etika yang baik saat memasuki tempat suci.
Pasraman  dapat berfungsi sebagai wadah untuk melahirkan generasi muda Hindu yang memiliki kualitas seperti yang diharapkan. Pendidikan disini adalah pendidikan dalam berbagai bidang termasuk dalam pendidikan agama. Pada era globalisasi sekarang ini yang ditandai dengan adanya kemajuan di bidang teknologi, ilmu pengetahuan dan informasi yang sangat pesat mendatangkan konsekwensi baik yang bersifat positif maupun negatif. Dalam konteks ini, pendidikan agama berperan sangat penting untuk membentuk anak yang memiliki daya tangkal terhadap pengaruh negatif dari kemajuan teknologi dan memanfaatkan sisi positifnya.
Pendidikan Agama Hindu secara formal diadakan di Sekolah tingkat Dasar, Menengah dan Atas, baik Negeri maupun Swasta.  Namun dikarenakan adanya kesukaran dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Hindu untuk siswa-siswa yang beragama Hindu pada Sekolah-sekolah/Kursus-kursus negeri dan swasta yang disebabkan oleh sedikitnya jumlah siswa maka  Pendidikan Agama Hindu dilaksanakan di pasraman (Kartika, Rheza, 2015).
            Disamping itu, fungsi organisasi masyarakat yang lain seperti pecalang adalah memberikan teguran serta sanksi yang tegas terhadap masyarakat khususnya generasi muda yang melanggar. Dengan begitu celah generasi muda untuk melanggar kian menyempit sehingga pelanggaran yang terjadi dapat diminimalisir. Jika generasi muda mampu mengendalikan manah ditengah deru globalisasi, generasi muda Hindu akan kembali menjadi generasi muda Hindu yang sesungguhnya.
            Selain hal yang terpaparkan diatas, organisasi sosial lain yang dapat dijadikan sebagai ajang penanaman nilai-nilai sosial budaya khususnya dalam bidang keagamaan adalah Sekeha Teruna Teruni (STT). Karena bagaimanapun juga pergaulan sesama teman sebaya memiliki peran yang sangat penting dalam proses perkembangan gererasi muda. Keberadaan Sekeha Teruna-Teruni (STT) dapat dijadikan tiang penyangga maraknya badai globalisasi yang menghantam pemuda saat ini. Sekeha Teruna Teruni berasal dari rumpun kata sekeha yang berarti perkumpulan, organisasi sedangkan teruna teruni yang berarti pemuda pemudi. Jadi sekaa teruna teruni dapat diartikan sebagai organisasi sosial pengembangan generasi muda yang tumbuh di masyarakat atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial (Darmawan, Donie Weda, 2014).
            Melalui ajang perkumpulan Sekeha Teruna Teruni, para generasi muda Hindu dapat saling bertukar pikiran dalam membangun desa ke arah yang lebih baik serta berdiskusi guna mencari solusi dalam mempertahankan eksistensi budaya dan agama. Salah satu realitas kehidupannya adalah Sekeha Teruna Teruni PERAMMA yang terletak di Banjar Sema, Desa Melinggih, Kecamatan Payangan, Gianyar yang telah mampu mempertahankan eksistensi remaja beragama Hindu yang sesungguhnya di daerah tersebut. Sekeha Teruna Teruni ini memiliki landasan “sagilik saguluk salunglung sabayantaka paras paros sarpanaya” yang berarti bersatu padu dalam suka duka dalam menghadapi bahaya, berembug dan bermusyawarah (Stitidharma.org, 2015)
Teknologi Modern : Katalisator Penyebaran Ajaran Dharma
            Dilihat dari satu sisi, teknologi modern seperti smartphone, laptop dan berbagai aplikasi modern seperti facebook, youtube memang memiliki dampak yang negatif bagi kalangan generasi muda, khususnya dalam bidang keagamaan. Namun dalam masalah ini, kita dapat memanfaatkan media sosial sebagai media penyebaran informasi keagamaan khususnya dalam etika berpakaian serta berperilaku yang baik saat memasuki tempat suci. Informasi yang kita sebarkan pun bisa berupa gambar, tulisan ataupun video tutorial mengenai cara berpakaian yang benar saat memasuki tempat suci khususnya Pura.
            Media penyampaian informasi lain yang dapat kita manfaatkan adalah baliho. Baliho cenderung identik dengan kampanye partai politik seperti Pilkada, Pemilu ataupun pemilihan lembaga daerah lainnya. Selain itu baliho juga terkait dengan iklan suatu produk. Dalam hal ini, kita dapat menjadikan baliho sebagai penyebar informasi mengenai tata cara berbusana adat bali yang benar. Hal ini dilakukan dengan cara memasang baliho di setiap desa khususnya ditempat yang ramai dikunjungi masyarakat seperti pusat kota, balai desa dan tempat umum lainnya. Hal tersebut dapat menyadarkan generai muda yang melihanya untuk segera berbenah diri.   
            Seiring perkembangan zaman, kini telah muncul teknologi baru yakni papan reklame elektronik, yaitu Reklame Megatron ataupun Videtron. Reklame Megatron merupakan papan reklame tampilan elektronik dengan gambar yang bergerak, sedangkan Reklame Videotron merupakan papan reklame elektronik dengan tampilan yang berupa video (CV Astro, 2015). Media dengan tampilan modern dapat menggugah minat para remaja untuk memaknai iklan tersebut. Jika teknologi modern dan organisasi masyarakat dimanfaatkan dengan baik, maka generasi muda Hindu yang sesungguhnya dapat terwujud.
            Maraknya arus globalisasi yang kian menjadi penerjemah identitas masyarakat Bali yeng menyebabkan terjadinya pergeseran budaya seiring bergulirnya waktu. Fenomena  yang terjadi di kalangan generai muda Hindu pun sangan beragam. Contoh kecil yang terjadi adalah penyimpangan terhadap tata busana yang dikenaan para generasi muda ketika memasuki tempat suci. Hal yang mendasari peyimpangan tersebut tidak lain karena gaya berpakaian yang trendy dan ketidak tahuan para kaum muda akan tata busana yang benar saat memasuki pura. Berbagai penyimpangan yang terjadi menyebabkan kurangnya etika para generasi muda yang merambat pada penurunan nilai moral yang nantinya menyebabkan lunturnya budaya tradisional yang telah lama mengakar. Lunturnya  budaya inilah yang nantinya menyebabkan Indonesia khususnya Pulau Bali kehilangan jati diri di mata dunia.
            Melirik permasalahan tersebut, kita dapat memanfaatkan teknologi yang berkembang kian pesatnya di kalangan generasi muda Hindu. Kita dapat memasang baliho dan papan reklame di setiap sekolah dan lingkungan masyarakat serta di lingkungan khalayak ramai. Selain itu, kita dapat memanfaatkan media social seperti facebook dan youtube untuk menyebarluaskan informasi keagamaan khususnya dalam berbusana adat ke pura. Peran organisasi social masyarakat juga tidak kalah penting dalam mengontrol emosi generasi muda dalam menghadapi badai globalisasi yang terjadi di era sekarang. Cara alternatif lain yang dapat kita manfaatkan adalah iklan layanan masyarakat. Iklan layanan masyarakat dapat kita publikasikan melalui media masa televisi maupun papan reklame digital. Iklan layanan masyarakan yang kita sebar luaskan di televisi berpotensi untuk menyadarkan generasi muda masa kini. Jika generasi muda mampu mengendalikan manah ditengah deru globalisasi, generasi muda Hindu akan kembali menjadi generasi muda Hindu yang sesungguhnya.

SROTRAM SRUTENAIVA NA KUNDALENA, DANENA PANIRNA TU KANGKANENA, VIBHAKTI KAYAH KARUNAMAYANAM, PAROPAKARENA NA CANDANENA.
Keindahan telinga karena mendengarkan weda, bukan karena anting-anting; keindahan tangan karena suka berderma, bukan karena gelang; demikian pula keindahan badan orang baik-baik karena suka menolong orang lain, bukan karena bedak cendana.


DAFTAR PUSTAKA

Artini, Rai. 2013. Menyoroti Etika Umat Hindu “Ke Pura Berpenampilan selebritis”(Artikel Bali). Diakses dari http://www.cakrawayu.org/artikel/8-i-wayan-sukarma/106-identitas-manusia-bali.html pada tanggal 1 Maret 2016.

Battacarya, Wasudewa. 2012. Tatwa Busana Adat Bali. Diakses dari http://acaryawasu.blogspot.co.id/2012/11/tatwa-busana-adat-bali-makna-dan.html  pada tanggal 1 Maret 2016

Darmawan, Donie Weda. 2012. Sekeha Teruna Teruni (STT) paguyuban Khas Pemuda Pemusi Desa di Pulau dewata. Diakses dari http://donnieweda.blogspot.co.id/2012/12/sekeha-teruna-teruni-stt-paguyuban-khas.html pada tanggal 1 Maret 2016.

Diputra, Aristana. 2014. Makna Pakaian adat ke Pura. Diakses dari http://akuberagama.blogspot.co.id/2014/01/makna-pakaian-adat-ke-pura.html  pada tanggal 29 Februari 2016.

Hindu, Bali. 2013. Menjaga Kesucian Pura, Kriteria dan apa Saja Bentuknya. Diakses dari kfq pada tangal 29 Februari 2016.

Kartika, Rheza. 2015.Penelitian Pasraman. Diakses dari http://jendelailmunew.blogspot.co.id/2015/03/penelitian-Pasraman.html pada tanggal 1 Maret 2016

Stiti Dharma.Org. 2015. Bali dan Kekinian. Diakses dari http://stitidharma.org/bali-dan-kekinian/  pada tanggal 1 Maret 2016.

Sukarma, Wayan. 2012. Identitas Manusia Bali. Diakses dari http://www.cakrawayu.org/artikel/8-i-wayan-sukarma/106-identitas-manusia-bali.html pada tanggal 29 Februari 2016.

Wayanbio. 2011. Tugas lmu Sosial Dasar. Diakses dari http://agusper.blogspot.co.id/2011/11/tugas-isd.html pada tanggal 29 Februari 2016.


CV Astro. 2015. Beda billboard Baliho, Megatron, Videotron. Diakses dari https://cvastro.com/beda-billboard-baliho-megatron-videotron.htm pada 2 Maret 2016.