Organisasi Kemasyarakatan dan Teknologi modern : Ajegkan Tatanan Berbusana Hindu di Kalangan Remaja
Bali sangat kental dengan adat istiadat
yang menjadikan sebuah identitas bangsa Indonesia di mata dunia. Kawasan yang
tekenal dengan julukan “ Pulau Seribu Pura” tentu memiliki berbagai tradisi
unik sehingga tidak dapat dipungkiri jika wisatawan yang datang ke Bali kian
melonjak seiring waktu bergulir. Bali disebut sebagai Pulau Seribu Pura karena di Bali hampir
di setiap rumah penduduk terdapat pura yang disebut pura keluarga serta
pura-pura yang bersifat umum yang berjumlah ribuan. Adanya ribuan pura di Bali sebagai
sarana untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya bagi umat yang beragama
Hindu. Pura di samping sebagai sarana memuja Tuhan juga sebagai sistem penataan
kehidupan sosial dengan segala dimensinya. Memuja Tuhan haruslah dapat dimaknai
untuk menata kehidupan bersama untuk mencapai sistem sosial yang dinamis dan
harmonis mewujudkan tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha.
Selain
itu, Bali juga disebut sebagai Pulau Dewata karena sebagian besar penduduk Bali memeluk
agama Hindu. Agama Hindu mengenal banyak Dewa sebagai manifestasi Tuhan Yang
Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) di dalam melaksanakan kekuasaan yang tak
terbatas atas alam semesta. Dalam proses pemujaan Tuhan dan segala
manifestasi-nya, masyarakat hindu Bali melaksanakan upacara yang dinamakan Panca Yadnya. Panca Yadnya adalah lima jenis
karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai
kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yadnya tersebut terdiri dari Dewa Yadnya,
Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya (Wayanbio, 2011).
Dalam
proses pelaksanakan yadnya, masyarakat wajib mengenakan pakaian adat ke pura
yang sesuai dengan konsep busana adat Bali yang disebut dengan konsep tapak dara (swastika). Secara umum busana adat Bali dibagi tiga yakni : busana
adat nista yang digunakan sehari,
ngayah, dan tidak digunakan untuk persembahyangan, busana adat madya yang digunakan untuk persembahyangan
dan busana adat agung yang untuk upacara pawiwahan (Wasudewa, 2011).
Namun
pada era milennium 3 atau abad 21 ini, bayangan globalisasi seakan menghitamkan seantero jagat
Bali. penyimpangan terhadap cara berpakaian masyarakat Hindu khususnya generasi
muda mulai melonjak di tengah kalangan masyaraka. Harumnya
bunga dan asap dupa yang mengepul yang mencirikan proses persembahyangan sedang berlangsung serta lantunan doa
diiringi suara genta dan gamelan yang menambah khusyuknya hati tatkala
melaksanakan persembahyangan telah tercemar oleh penampilan para generasi muda
saat ke pura.
Fakta yang terjadi adalah ketidaksesuaian antara tempat
dan fungsi dari pakaian yang dikenakan saat ke pura. Tatkala umat Hindu melaksanakan kegiatan upacara persembahyangan,
khususnya di pura-pura bisa dengan harmonis generasi muda masa kini
mensinergikan tampilannya yang trendis, modis seperti kalangan selebritis, dalam aktivitas religis yang sebenarnya lebih mengedepankan tuntutan etis (normatif) yang dijiwai ajaran Hindu. Di
balik fenomena penampilan selebritis umat Hindu tersebut, akan membawa implikasi berupa terjadinya pergeseran
orientasi nilai yang semestinya menekankan pada substansi dan esensi, tetapi
yang terjadi dan berkembang justru lebih mengutamakan tampilan materi (Artini,
2013). Hal tersebut menyebabkan terjadinya alih fungsi Pura yang semulanya
sebagai tempat suci, kini sebagai panggung cat
walk. Kaum generasi muda seakan “buta dan tuli” dalam menanggapi
penyimpangan yang terjadi.
Ong Sembahning Anatha Tinghalana, De Tri Loka Sarana
Wahya Dhyatmika Sembahinguluni Jong Ta, Tan Hana Waneh.
Sang Lwir Agni Sakeng Tahen, Kadi Minyak Sakeng Dadi Kita.
Sang Saksat Metu, Yan Hana Wwang Amuter Tutur Pinihayu
( Arjuna
Wiwaha X.1/98 Mrdhu Komala)
Jika kita perhatikan baris kedua dari kekawin diatas “Wahya Dhyatmika Sembahinguluni” yang mengisyaratkan bahwa
sebelum melaksanakan persembahyangan kita telah memenuhi dua syarat. Yang
pertama adalah Wahya yang artinya
gerak atau sikap nyata meliputi cara berjalan, sikap duduk, sikap tangan, napas
teratur, dan alat-alat pemujaan yang bersih dan baik. Syarat kedua adalah Dhyatmika yang bermakana kondisi batin yang baik dan siap untuk
bersembahyang, yaitu: tenang, damai, pengabdian yang tulus, dan konsentrasi
penuh dalam memuja Sanghyang Widhi. Oleh karena itu PHDI dalam keputusan
seminar ke-IV tentang kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu tanggal
17 s/d 20 April 1978 mengatur tata cara masuk pura, salah satu isinya adalah dilarang
memasuki pura bagi orang-orang yang berpakaian
tidak sopan atau menonjolkan bentuk tubuh (Hindu, Bali, 2012).
Namun jika kita
lihat fenomena yang terjadi pada generasi muda Hindu masa kini, aturan tersebut seperti tidak digubris. Contoh kecil saja,
saat upacara piodalan di pura, sebagian besar remaja laki-laki mengenakan
kamben yang terlalu pendek sehingga jarak antara mata kaki dan ujung kamben
yang dikenakan melebihi satu jengkal. Selain itu sebagian besar para pemuda
yang ke Pura mengenakan saput dengan ujung lipatannya tumpul. Udeng yang dikenakan pun membentuk ujung simpul ke kiri. Tidak hanya itu, gaya rambut punk dan hiasan tindik di telinga kaum pria
kian menjadi ciri khas remaja masa kini.
Padahal aturan dalam berbusana ke pura pada putra yang
sesuai dengan tata busana adalah saat mengenakan kamben dengan lipatan melingkar ke kiri sebagai simbol
pemegang dharma. Kancut yang dikenakan harus dilipat dan lipatannya rucing ke bawah sebagai simbol penghormatan
kepada Ibu Pertiwi serta dilengkapi dengan saput umpal sebagai simbol
pengendalian terhadap hal-hal buruk. Baju yang dikenakan harus sopan. Dalam
memakai udeng, simpul ditempatkan di
atas sela-sela mata,dan ujung rungcingnya mennghadap ke atas sebagai tanda penghormatan
kepada Ida Sang Hyang widhi atau ke kanan sebagai simbol penghormatan kepada
ajaran dharma (Wasudewa, 2014).
Bagai
pinang dibelah dua, hal serupa juga kita
rasakan bersama terhadap cara berpakaian remaja putri ketika memasuki tempat
suci. Sebagian besar kaum putri mengenakan kebaya berleher lebar dan berlengan
pendek serta berwarna transparan yang semata-mata ingin memperlihatkan aurat
tubuh. Selain itu kebanyakan kaum putri mengenakan kamben yang trend sehingga gulungan kamen yang dikenakan
memperlihatkan betis bahkan lutut serta dalam kondisi rambut digerai yang
dihiasi pernak pernik modern seperti bando.
Hal tersebut tentu sangat menyimpang dari aturan buasana, sehingga tidak jarang
pemandangan yang kurang enak dilihat tersebut menggangu iman kaum pria ketika
beryadnya. Jika kita lihat dari segi aturan busana adat ke pura untuk kaum
putri, jarak ujung kamen yang dikenakan maksimal satu telapak kaki diatas mata
kaki. Baju yang dikenakan harus sopan dan lengan baju setidaknya satu telapak
tangan dari mata tangan. Rambut kaum putri harus diikat berbentuk pusung gonjer karena sebagai simbol
mahkota dan sebagai stana Tri Murti (Diputra, Aristana, 2014).
Berkaca pada masalah tersebut, ternyata penyebabnya
hanyalah satu hal yang mendasar yakni ketidak tahuan generasi muda terhadap
cara berbusana ke pura yang benar. Dari ketidak tahuan tersebut, timbul rasa
malas, enggan serta acuh tak acuh untuk mengetahui cara berpakaian adat ke pura
yang benar. Namun dilihat dari sudut pandang yang berbeda, hal lain yang menjadi
penyebab penyimpangan tersebut adalah tidak adanya sanksi yang tegas mengenai
busana adat yang benar dan sesuai dengan tata busana adat ke pura. Petuah-petuah
yang diberikan para orang tua di rumah
maupun pada acara tertentu seperti Dharma
Wacana seperti angin lalu yang sama sekali tidak dihiraukan oleh generasi
muda zaman sekarang. Dengan keadaan yang kian terpuruk ini, diperlukan
suatu inovasi baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi generasi muda masa
kini. Sehingga kedepannya generasi muda Hindu mampu menjaga eskistensi agama Hindu di era yang kian modern ini.
Organisasi
Masyarakat : Penuntun Dharma ditengah Globalisasi
Pada setiap langkah yang dilalui, penyimpangan yang terjadi
ditengah arus globalisasi ini tentu tidak terlepas dari pengaruh lingkungan
sekitar. Selain lingkungan pendidikan formal, generasi muda wajib mendapatkan
pendidikan informal disekitar lingkungan tempatnya tinggal yang dapat dijadikan
sebagai ajang pembentukan karakter yang berbudi luhur secara lebih mendalam.
Dalam hal ini, peran organisasi masyarakat seperti Pasraman1 dan Pecalang2 sangat diperlukan untuk mengontrol perilaku generasi
muda zaman sekarang khususnya dalam bidang etika yang baik saat memasuki tempat
suci.
Pasraman dapat berfungsi
sebagai wadah untuk melahirkan generasi muda Hindu yang memiliki kualitas
seperti yang diharapkan. Pendidikan disini adalah pendidikan dalam berbagai
bidang termasuk dalam pendidikan agama. Pada era globalisasi sekarang ini yang
ditandai dengan adanya kemajuan di bidang teknologi, ilmu pengetahuan dan
informasi yang sangat pesat mendatangkan konsekwensi baik yang bersifat positif
maupun negatif. Dalam konteks ini, pendidikan agama berperan sangat penting untuk membentuk anak yang memiliki daya tangkal
terhadap pengaruh negatif dari kemajuan teknologi dan memanfaatkan sisi
positifnya.
Pendidikan Agama Hindu secara formal
diadakan di Sekolah tingkat Dasar, Menengah dan Atas, baik Negeri maupun
Swasta. Namun dikarenakan adanya kesukaran dalam pelaksanaan Pendidikan
Agama Hindu untuk siswa-siswa yang beragama Hindu pada
Sekolah-sekolah/Kursus-kursus negeri dan swasta yang disebabkan oleh sedikitnya
jumlah siswa maka Pendidikan Agama Hindu dilaksanakan di pasraman (Kartika, Rheza, 2015).
Disamping
itu, fungsi organisasi masyarakat yang lain seperti pecalang adalah memberikan teguran serta sanksi
yang tegas terhadap masyarakat khususnya generasi muda yang melanggar. Dengan
begitu celah generasi muda untuk melanggar kian menyempit sehingga pelanggaran
yang terjadi dapat diminimalisir. Jika generasi muda mampu mengendalikan manah ditengah deru globalisasi, generasi
muda Hindu akan kembali menjadi generasi muda Hindu yang sesungguhnya.
Selain
hal yang terpaparkan diatas, organisasi sosial lain yang dapat dijadikan
sebagai ajang penanaman nilai-nilai sosial budaya khususnya dalam bidang
keagamaan adalah Sekeha Teruna Teruni
(STT). Karena bagaimanapun juga pergaulan sesama teman sebaya memiliki
peran yang sangat penting dalam proses perkembangan gererasi
muda. Keberadaan Sekeha Teruna-Teruni (STT) dapat dijadikan tiang penyangga
maraknya badai globalisasi yang menghantam pemuda saat ini. Sekeha Teruna Teruni berasal dari rumpun kata sekeha yang berarti perkumpulan,
organisasi sedangkan teruna teruni
yang berarti pemuda pemudi. Jadi sekaa teruna teruni dapat diartikan sebagai organisasi sosial pengembangan generasi muda yang tumbuh di
masyarakat atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial (Darmawan, Donie Weda, 2014).
Melalui
ajang perkumpulan Sekeha Teruna Teruni,
para generasi muda Hindu dapat saling bertukar pikiran dalam membangun desa ke arah
yang lebih baik serta berdiskusi guna mencari solusi dalam mempertahankan
eksistensi budaya dan agama. Salah satu realitas kehidupannya adalah Sekeha Teruna Teruni PERAMMA yang
terletak di Banjar Sema, Desa Melinggih, Kecamatan Payangan, Gianyar yang telah
mampu mempertahankan eksistensi remaja beragama Hindu yang sesungguhnya di
daerah tersebut. Sekeha Teruna Teruni
ini memiliki landasan “sagilik saguluk
salunglung sabayantaka paras paros sarpanaya” yang berarti bersatu padu
dalam suka duka dalam menghadapi bahaya, berembug dan bermusyawarah (Stitidharma.org,
2015)
Teknologi Modern : Katalisator Penyebaran Ajaran Dharma
Dilihat
dari satu sisi, teknologi modern seperti smartphone,
laptop dan berbagai aplikasi modern
seperti facebook,
youtube memang memiliki
dampak yang negatif bagi kalangan generasi muda, khususnya dalam bidang keagamaan. Namun dalam
masalah ini, kita dapat memanfaatkan media sosial sebagai media penyebaran informasi keagamaan khususnya dalam
etika berpakaian serta berperilaku yang baik saat memasuki tempat suci.
Informasi yang kita sebarkan pun bisa berupa gambar, tulisan ataupun video
tutorial mengenai cara berpakaian yang benar saat memasuki tempat suci
khususnya Pura.
Media
penyampaian informasi lain yang dapat kita manfaatkan adalah baliho. Baliho
cenderung identik dengan kampanye partai politik seperti Pilkada, Pemilu
ataupun pemilihan lembaga daerah lainnya. Selain itu baliho juga terkait dengan
iklan suatu produk. Dalam hal ini, kita dapat menjadikan baliho sebagai
penyebar informasi mengenai tata cara berbusana adat bali yang benar. Hal ini
dilakukan dengan cara memasang baliho di setiap desa khususnya ditempat yang ramai dikunjungi masyarakat seperti pusat
kota, balai desa dan tempat umum lainnya. Hal tersebut dapat menyadarkan
generai muda yang melihanya untuk segera berbenah diri.
Seiring perkembangan zaman, kini
telah muncul teknologi baru yakni papan reklame elektronik, yaitu Reklame Megatron ataupun Videtron. Reklame Megatron merupakan papan reklame tampilan elektronik dengan
gambar yang bergerak, sedangkan Reklame
Videotron merupakan papan reklame elektronik dengan tampilan yang berupa
video (CV Astro, 2015). Media dengan tampilan modern dapat menggugah minat para
remaja untuk memaknai iklan tersebut. Jika teknologi modern dan organisasi
masyarakat dimanfaatkan dengan baik, maka generasi muda Hindu yang sesungguhnya
dapat terwujud.
Maraknya
arus globalisasi yang kian menjadi penerjemah identitas masyarakat Bali yeng
menyebabkan terjadinya pergeseran budaya seiring bergulirnya waktu.
Fenomena yang terjadi di kalangan
generai muda Hindu pun sangan beragam. Contoh kecil yang terjadi adalah
penyimpangan terhadap tata busana yang dikenaan para generasi muda ketika
memasuki tempat suci. Hal yang mendasari peyimpangan tersebut tidak lain karena
gaya berpakaian yang trendy dan
ketidak tahuan para kaum muda akan tata busana yang benar saat memasuki pura.
Berbagai penyimpangan yang terjadi menyebabkan kurangnya etika para generasi
muda yang merambat pada penurunan nilai moral yang nantinya menyebabkan
lunturnya budaya tradisional yang telah lama mengakar. Lunturnya budaya inilah yang nantinya menyebabkan
Indonesia khususnya Pulau Bali kehilangan jati diri di mata dunia.
Melirik permasalahan tersebut, kita
dapat memanfaatkan teknologi yang berkembang kian pesatnya di kalangan generasi
muda Hindu. Kita dapat memasang baliho dan papan reklame di setiap sekolah dan
lingkungan masyarakat serta di lingkungan khalayak ramai. Selain itu, kita
dapat memanfaatkan media social seperti facebook
dan youtube untuk menyebarluaskan
informasi keagamaan khususnya dalam berbusana adat ke pura. Peran organisasi
social masyarakat juga tidak kalah penting dalam mengontrol emosi generasi muda
dalam menghadapi badai globalisasi yang terjadi di era sekarang. Cara alternatif
lain yang dapat kita manfaatkan adalah iklan layanan masyarakat. Iklan layanan
masyarakat dapat kita publikasikan melalui media masa televisi maupun papan
reklame digital. Iklan layanan masyarakan yang kita sebar luaskan di televisi
berpotensi untuk menyadarkan generasi muda masa kini. Jika generasi muda mampu mengendalikan manah ditengah deru globalisasi, generasi
muda Hindu akan kembali menjadi generasi muda Hindu yang sesungguhnya.
SROTRAM
SRUTENAIVA NA KUNDALENA, DANENA PANIRNA TU KANGKANENA, VIBHAKTI KAYAH
KARUNAMAYANAM, PAROPAKARENA NA CANDANENA.
Keindahan
telinga karena mendengarkan weda, bukan karena anting-anting; keindahan tangan
karena suka berderma, bukan karena gelang; demikian pula keindahan badan orang
baik-baik karena suka menolong orang lain, bukan karena bedak cendana.
DAFTAR PUSTAKA
Artini, Rai.
2013. Menyoroti
Etika Umat Hindu “Ke Pura Berpenampilan selebritis”(Artikel Bali). Diakses dari http://www.cakrawayu.org/artikel/8-i-wayan-sukarma/106-identitas-manusia-bali.html
pada tanggal 1 Maret 2016.
Battacarya,
Wasudewa. 2012. Tatwa Busana Adat Bali. Diakses
dari http://acaryawasu.blogspot.co.id/2012/11/tatwa-busana-adat-bali-makna-dan.html pada tanggal 1 Maret 2016
Darmawan, Donie Weda. 2012. Sekeha Teruna Teruni (STT) paguyuban Khas
Pemuda Pemusi Desa di Pulau dewata. Diakses dari http://donnieweda.blogspot.co.id/2012/12/sekeha-teruna-teruni-stt-paguyuban-khas.html pada tanggal 1 Maret 2016.
Diputra, Aristana. 2014. Makna Pakaian adat ke Pura. Diakses dari
http://akuberagama.blogspot.co.id/2014/01/makna-pakaian-adat-ke-pura.html
pada tanggal 29 Februari 2016.
Hindu, Bali. 2013. Menjaga Kesucian Pura, Kriteria dan apa Saja
Bentuknya. Diakses dari kfq pada tangal 29 Februari 2016.
Kartika, Rheza. 2015.Penelitian Pasraman. Diakses dari http://jendelailmunew.blogspot.co.id/2015/03/penelitian-Pasraman.html pada tanggal 1 Maret
2016
Stiti Dharma.Org. 2015. Bali dan
Kekinian. Diakses dari http://stitidharma.org/bali-dan-kekinian/
pada tanggal 1 Maret 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar